Selasa, 16 September 2014

Peranan Ribosom dalam meningkatkan sintesis Protein

Ribosom adalah organel kecil dan padat dalam sel yang berfungsi sebagai tempat sintesis protein. Ribosom berdiameter sekitar 20 nm serta terdiri atas 65% RNA ribosom (rRNA) dan 35% protein ribosom (disebut Ribonukleoprotein atau RNP) Pengertian tersebut menurut dengan Subowo (2007). Organel Ribosom ini menerjemahkan mRNA untuk membentuk rantai polipeptida (yaitu protein) menggunakan asam amino yang dibawa oleh tRNA pada proses translasi. Di dalam sel, ribosom tersuspensi di dalam sitosol atau terikat pada retikulum endoplasma kasar, atau pada membran inti sel.
Ribosom merupakan partikel yang kampak/padat, terdiri dari ribonukleoprotein, melekat atau tidak pada permukaan external dari membran RE, yang memungkinkan sintesa protein. Menurut Johnson. E, Kurt (1994), Sifat dari Ribosom itu yaitu Bentuknya universal, pada potongan longitudinal berbentuk elips, Pada teknik pewarnaan negatif, tampak adanya satu alur transversal, tegak lurus pada sumbu, terbagi dalam dua sub unit yang memiliki dimensi berbeda, Dengan ultrasentrifugasi yang menurun pada kedua sub unit ribosom tersebut dapat dipisahkan sehingga dapat penyusunnya dapat dideterminasis. Sub unit-sub unit berasosiasi secara tegak iurus pada bagian sumbu dalam aiur yang memisahkannya, Dimensi ribosom serta bentuk menjadi bervariasi. Pada prokariot, panjang ribosom adalah 29 nm dengan besar 21 nm. Dan eukariot, ukurannya 32 nm dengan besar 22 nm, Pada prokariot sub unitnya kecil, memanjang, bentuk melengkung dengan 2 ekstremitas, memiliki 3 digitasi, menyerupai kursi. Pada eukariot, bentuk sub unit besar menyerupai ribosom E. coli.
Sintesis protein adalah proses pembentukan protein dari monomer peptida yang diatur susunannya oleh kode genetik. Sintesis protein dimulai dari anak inti sel, sitoplasma dan ribosom. Menurut dengan Stryer (2000), Sintesis protein secara garis besar dibagi menjadi dua tahapan utama, yaitu proses pembuatan molekul mRNA pada inti sel (transkripsi) dan proses penerjemahan mRNA oleh rRNA serta perangkaian asam amino di ribosom (translasi). Sintesis protein melibatkan DNA sebagai pembuat rantai polipeptida. Meskipun begitu, DNA tidak dapat secara langsung menyusun rantai polipeptida karena harus melalui RNA. Seperti yang telah kita ketahui bahwa DNA merupakan bahan informasi genetik yang dapat diwariskan dari generasi ke generasi. Informasi yang dikode di dalam gen diterjemahkan menjadi urutan asam amino selama sintesis protein. Informasi ditransfer secara akurat dari DNA melalui RNA untuk menghasilkan polipeptida dari urutan asam amino yang



spesifik.

MEKANISME SINTESIS PROTEIN
            Dalam sintesis Protein ini Ribosom sangat berperan didalamnya, Secara garis besar proses sintesis protein terbagi menjadi 3 tahap yaitu :
1. Tahap Pemrakarsaan ( Inisiasi )
Tahap inisiasi diawali dengan pemisahan ribosom subunit besar dan ribosom subunit kecil. Langkah kedua adalah Met-tRNA berinteraksi dengan GTP, selanjutnya langkah ketiga adalah kombinasi Met-tRNA dan GTP akan bergabung dengan ribosom subunit kecil, akibatnya langkah keempat ribosom subunit kecil akan siap bersatu dengan mRNA dalam suatu reaksi kompleks yang melibatkan hidrolisis ATP, penyatuan ini diawali dengan penempelan tudung 5’ mRNA pada ribosom subunit kecil untuk kemudian ribosom ini akan bergerak terus sepanjang mRNA sampai bertemu dengan kodon pemrakarsa AUG.
Selanjutnya langkah kelima adalah penyatuan ribosom subunit kecil dan ribosom subunit besar yang disertai dengan hidrolisisGTP menjadi GDP. Gabungan antara ribosom dengan mRNA dan Met-tRNA menandakan selesainya tahap pemrakarsaan untuk kemudian siap masuk ke tahap pemanjangna atau elongasi.
2. Tahap Pemanjangan (Elongasi)
Dalam proses elongasi ribosom akan bergerak sepanjang mRNA untuk menerjemahkan pesan yang dibawa oleh mRNA dengan arah gerakan dari 5’ ke 3’. Langkah pertama dari proses elongasi adalah reaksi pengikatan aminoasil tRNA (AA2) dengan GTP. Langkah kedua kompleks ini kemudian terikat pada ribosom sisi A. Langkah ketiga GTP dihidrolisis, Met-tRNA terdapat pada sisi P dan aminoasil-tRNA (AA2) pada sisi A siap untuk membentuk rantai peptida pertama.
Langkah keempat metionin yang digandeng oleh tRNA inisiato pada sisi P mulai terikat dengan asam amino yang dibawa oleh tRNA pada sisi A dengan ikatan peptide membentuk dipeptida, sehingga sisi P ribosom menjadi kosong. Reaksi ini dikatalis oleh peptidil transferase yang dihasilkan oleh ribosom subunit besar. Langkah kelima petidil tRNA berpindah ke sisi P akibat pergeseran ribosom ke arah 3’ dan terbukalah kodon berikutnya pada sisi A dan siap dimasuki oleh tRNA berikutnya.
Setelah kedua tempat diribosom terisi oleh tRNA yang menggandeng asam amino masing-masing, asam-asam amino akan berada sangat berdekatan, akibatnya akan terjadi ikatan peptide diantara keduanya. Terjadinya ikatan antara kedua asam amino ini dikatalisis oleh enzim peptidil transferase. Peptidil transferase bekerja sama dengan enzim deasilase-tRNA akan memutuskan ikatan antara tRNA dengan asam amino yang digandengnya.
3. Tahap Penghentian (Terminasi)

Penerjemahan akan berhenti apabila kodon penghenti (UAA,UAG, atau UGA) masuk ke sisi A. hal ini terjadi karena tidak ada satupun tRNA yang memiliki antikodon yang dapat berpasangan dengan kodon-kodon penghenti. Sebagai ganti molekul tRNA, masuklah factor pembebas atau RF (Release Factor) ke sisi A. Faktor ini bersama-sama  dengan molekul GTP, melepaskan rantai polipeptida yang telah usai dibentuk dari tRNA yang terakhir. Ribosom kembali terpisah menjadi unit besar dan unit kecil serta kembali ke sitosol untuk kemudian akan berfungsi lagi jika ada penerjemahan baru.

Karya : Graha Permana (Mahasiswa Universitas Diponegoro)

BIOETIKA TANAMAN TRANSGENIK

Kekhawatiran Dampak Organisme atau Pangan Produk Transgenik dalam Penerapan bioteknologi seperti manipulasi gen pada tanaman budidaya telah memberikan manfaat yang tidak terbatas. Secara alamiah tumbuhan mengalami perubahan secara lambat sesuai dengan keberhasilan adaptasi sebagai hasil interaksi antara tekanan lingkungan dengan variabilitas genetika. Campur tangan manusia melalui rekayasa genetik telah mengakibatkan “revolusi” dalam tatanan gen. Perubahan drastis ini telah menimbulkan kekhawatiran akan munculnya dampak produk transgenik baik terhadap lingkungan, kesehatan maupun keselamatan keanekaragaman hayati (Aisyah, 2003). Dalam banyak hal bahaya produk transgenik yang diduga akan muncul terlalu dibesar-besarkan. Tidak ada teknologi yang tanpa resiko, demikian pula dengan produk rekayasa genetik. Resiko dari produk transgenik tidak akan lebih besar dari produk hasil persilangan alamiah. Beberapa resiko pangan transgenik yang mungkin terjadi antara lain resiko alergi, keracunan dan tahan antibiotik (Fagan, 1997) dalam Aisyah (2003). Pangan transgenik berpotensi menimbulkan alergi pada konsumen yang memiliki sensitivitas alergi tinggi. Keadaan itu dipengaruhi sumber gen yang ditransformasikan. Kasus ini pernah terjadi pada kedelai transgenik dengan kandungan methionin tinggi, sehingga produknya tidak diedarkan setelah penelitian menunjukkan adanya unsur alergi. Kekhawatiran keracunan didasarkan pada sifat racun dari gen Bt terhadap serangga. Kecemasan tersebut tidak beralasan karena gen Bt hanya aktif bekerja dan bersifat racun bila bertemu sinyal penerima dalam usus serangga yang sesuai dengan kelas virulensinya. Gen tersebut tidak stabil dan tidak aktif lagi pada pH di bawah 5 dan suhu 65° C , artinya manusia tidak akan keracunan gen Bt terutama untuk bahan yang harus dimasak terlebih dahulu. Kemungkinan lain adalah resistensi mikroorganisme dalam tubuh menjadi lebih “kuat”.
Kejadian ini peluangnya kecil karena gen yang ditranfer melalui rekayasa genetik akan terinkorporasi ke dalam genom tanaman. Kekhawatiran bahaya terhadap keselamatan sumber daya hayati diduga terjadi melalui beberapa cara seperti 1) terlepasnya organisme transgenik ke alam bebas, dan 2) tranfer gen asing dari produk transgenik ke tanaman lain sehingga terbentuk gulma yang dapat merusak ekosistem yang ada sehingga mengancam keberadaan sumber daya hayati. Perubahan tatanan gen dapat mengakibatkan perubahan perimbangan ekosistem hayati dengan perubahan yang tidak dapat diramalkan (Hartiko, 1995) dalam Aisyah (2003). Prinsip dasar biologi molekuler menunjukkan 2 sumber utama resiko yang mungkin timbul. Pertama, perubahan fungsi gen melalui proses rekayasa genetik. Penyisipan gen berlangsung secara acak sehingga sulit untuk dikontrol dan diprediksikan apakah gen tersebut akan rusak atau berubah fungsi. Kedua transgen dapat berinteraksi dengan komponen seluler. Kompleksitas kehidupan organisme mengakibatkan kisaran interaksi tersebut tidak dapat di ramalkan atau dikontrol (Fagan, 1997) dalam Aisyah (2003). 
Secara teoritis tanaman transgenik merupakan bagian dari masa depan karena sampai saat ini bukti-bukti ilmiah menunjukkan tidak ada alasan “kuat” untuk mempercayai adanya resiko “unik“ yang berkaitan dengan produk transgenik. Produk bioteknologi modern sama aman atau berbahayanya dengan makanan yang dihasilkan melalui teknik-teknik tradisional. Bagaimanapun di masa yang akan datang, bioteknologi modern berpotensi sebagai alat untuk menjawab tantangan dan membuka kesempatan dalam mengembangkan bidang pertanian terutama untuk memperoleh bahan makanan yang lebih banyak dengan kualitas yang lebih baik. Sikap terhadap Produk Transgenik Pentingnya pengetahuan tentang ilmu rekayasa genetika. Pemberi informasi yang tidak dibekali dasar pengetahuan tentang rekayasa genetika biasanya cenderung menelan mentah-mentah ulasan pers asing sehingga objektifitas permasalahan dan validitas data sulit diperoleh. Sebagai contoh adalah penolakan negara barat terhadap padi transgenik yang menghasilkan provitamin A. Penolakan ini terjadi karena mereka bisa memperoleh vitamin A dari sumber lain. Bagi negara-negara berkembang yang rawan pangan bahan pangan yang kaya vitamin A sangat dibutuhkan. Oleh sebab itu penting untuk memahami terlebih dahulu latar belakang penolakan produk transgenik di suatu negara (Suwanto 2000) dalam Aisyah (2003).
Preferensi pribadi lebih baik tidak ditanggapi secara umum. Diperlukan informasi yang seimbang dan kebijakan yang hati-hati dari pemerintah dan pihak terkait yang dapat dijadikan acuan bagi orang awan untuk menentukan sikap dalam mengambil keputusan terhadap produk transgenik. Penilaian terhadap tanaman transgenik dapat mengandung persaingan bisnis yang terselubung (Suwanto 2000a) dalam Aisyah (2003). Pestisida kimiawi tidak terlalu diperlukan lagi dalam budidaya tanaman transgenik yang tahan serangan hama dan penyakit, sehingga pihak-pihak berkepentingan akan berusaha menuntun masyarakat dalam menentukan sikap sesuai tujuan mereka masing-masing. Bukti ilmiah diperlukan untuk menghilangkan keraguan. Salah satu kekhawatiran yang paling menonjol adalah terjadinya transfer gen dari organisme transgenik ke mikroorganisme. Secara alamiah transfer gen sangat jarang terjadi. Frekuensi pengambilan DNA linier oleh permukaan sel 10-5 atau lebih kecil, untuk terintegrasi ke dalam genom resipien memerlukan illegitimate recombination dengan frekuensi 10-8 atau lebih kecil dan kemudian untuk ekspresinya dibutuhkan aktivasi oleh elemen loncat dengan frekuensi 10-5 atau lebih kecil sehingga total frekuensi suatu gen ditransformasikn di alam adalah 10-18. Bakteri dalam usus besar manusia tidak lebih dari 1015 dan dalam satu gram tanah hanya sekitar 1010, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kejadian transformasi gen di alam tadi probabilitasnya mendekati nol. Dalam kondisi tanpa tekanan seleksi, frekuensi gen sebesar 10-6 sulit terjadi karena jumlah bakteri yang mendapat transfer gen tidak sebanding dengan bakteri yang tidak mendapatkannya (Suwanto 2000b) dalam Aisyah (2003). 
Tekanan seleksi yang menguntungkan bakteri penerima gen, maka transfer gen tersebut akan memberikan akibat yang nyata. Dalam melakukan penilaian terhadap produk transgenik pertimbangan ada tidaknya tekanan seleksi pada suatu kejadian yang jarang terjadi perlu mendapat perhatian serius. Perkembangan pengetahuan saat ini belum memungkinkan untuk menghitung semua probabilitas kejadian transfer gen secara tepat. Pada dasarnya belum tersedia informasi untuk membuat perhitungan kemungkinan suatu tahapan transfer gen. Data seperti itu diperkirakan belum dapat tersedia dalam waktu dekat karena variasi prokariota yang luar biasa atau mungkin terdapat mekanisme tranfer gen yang baru. Analisis resiko yang fair dapat dilakukan dengan membandingkan produk yang akan dianalisis dengan aplikasi yang secara umum telah dierima. Misalnya bila pemberian antibiotik untuk hewan dalam waktu yang lama dan terus menerus dianggap aman maka pemberian produk transgenik sebagai pakan dianggap lebih aman. Kedua kejadian itu mengambil resiko teoritis yang sama yaitu pengambilan DNA oleh bakteri usus melalui transformasi alamiah dan integrasi DNA ke dalam genom resipien. Pendekatan evaluasi seperti ini tidak diskrimanatif dalam menilai produk yang berbeda (Suwanto 2000b) dalam Aisyah (2003). Penggunaan bioteknologi telah diakui sebagai teknologi yang memberi manfaat terutama dalam aktivitas pertanian. Meskipun demikian aplikasi tersebut harus tetap diiringi dengan langkah-langkah yang perlu diambil untuk memastikan produk tersebut tidak membahayakan kehidupan manusia. Protokol keamanan hayati Cartagena adalah salah satu upaya global yang dapat dipakai masyarakat dunia untuk mematuhi peraturan yang berkaitan dengan produk transgenik. Keberadaan peraturan-peraturan ini diharapkan tidak menghalangi pertumbuhan dan perkembangan bioteknologi (Zohrah 2001). Setahun terakhir ini issue bioteroris menjadi fenomena baru yang muncul akibat banyaknya aksi teror yang terjadi pada saat teknik rekayasa genetika berkembang sangat pesat. Prestasi gemilang rekayasa genetika yang telah dicapai dibayangi penyalahgunaan oleh teroris. Kebebasan mengakses data genetika pada gen bank dikhawatirkan akan dimanfaatkan para teroris sebagai sarana menciptakan senjata yang berbahaya bagi keselamatan manusia. Presiden Amerika pada pertengahan tahun lalu telah menandatangani UU bioterorisme yang mencakup kesanggupan Amerika terhadap kontrol zat biologi berbahaya dan racun, keselamatan dan keamanan pasokan makanan, obat-obatan dan air minum. Kekhawatiran penyalahgunaan data genetika ini diragukan karena tidak ada pakar yang mumpuni untuk mengubah informasi tersebut menjadi senjata berbahaya. Database yang ada tidak dapat digunakan sebagai sarana untuk menciptakan bakteri atau virus pembunuh. Upaya menyembunyikan data genetika justru akan mendorong kepada sains yang membahayakan. Sebagai tindakan kewaspadaan, data akan diklasifikasikan khususnya data dari sejumlah organisme yang dikenal berbahaya. Membuka akses publik terhadap data tersebut dianggap lebih banyak manfaat karena akan merangsang berbagai penelitian untuk mencapai kemajuan dari pada kerugiannya, seperti yang dikemukakan oleh Baber dalam Suriasoemantri (1988) bahwa seorang ilmuwan tidak boleh menyembunyikan hasil penemuan apapun bentuknya dari masyarakat luas dan apapun yang menjadi konsekuensinya (Aisyah, 2003). Dalam upaya memberikan informasi yang transparan tentang tanaman transgenik kepada masyarakat, perlu adanya kerja sama yang erat diantara semua pihak yang terlibat (stakeholders).
Berikut adalah beberapa hal yang perlu dilakukan oleh stakeholder untuk mengkaji lebih jauh tentang pengembangan tanaman transgenik :
1.             Pemerintah
Sebagai pihak yang dapat menentukan kebijakan, pemerintah harus membuat peraturan-peraturan yang tegas tentang keberadaan tanaman transgenik, baik yang mengenai pemanfatannya maupun bagi dampak yang ditimbulkannya. Disamping itu, pemerinyah dapat menunjuk lembaga-lembaga independen yang bertugas mengawasi pengembangan tanaman transgenik. Pemerintah juga harus menghindari vested interest atau kepentingan tertentu pada tanaman transgenik karena dianggap dapat mendukung kebijakan penyediaan pangan. Independensi komisi keamanan hayati dan tanaman pangan sangat diperlukan. 
2.           Peneliti
Lembaga penelitian harus melakukan tahapan kegiatan sesuai dengan standard operating procedures (sop). Disamping itu, peneliti juga harus melakukan pengawasan ketat sesuai dengan integritas ilmiah. Disisni perlu adanya suatu komisi etika yang mendampingi dan mengawasi proyek penelitian dari sudut pandang etika. Selain itu, penelitian yang dilakukan harus melibatkan semua pihak termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi lainnya.
3.           Produsen
Transparansi produk transgenik harus diutamakan, caranya antara lain dapat dilakukan melalui labelling sehingga produk tersebut dapat diketahui dengan jelas oleh masyarakat. Produsen jangan hanya berorientasi komersial pada keuntungan semata tetapi juga harus mempertimbangkan dampaknya bagi kesehatan dan lingkungan sekitarnya.
4.           Petani
Petani harus mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang tanaman transgenik tersebut. Disamping itu, petani disarankan tidak berorientasi pada keuntungan sesaat atau jangka pendek, tetapi harus memperhatikan kontinuitas produksi dan pendapatannya. 
5.           Masyarakat
Sebagai pihak yang akan menggunakan produk transgenik, masyarakatharus bersikap hati-hati dan kritis. Informasi yang jelas dan rinci tentang apa dan bagaimana tanaman transgenik harus diketahui dengan pasti. Setidak-tidaknya sikap atau keputusan yang diambil telah didasarkan atas data dan fakta yang tidak keliru atau menyesatkan. 

Bioetika dalam Penelitian Bioteknologi Menurut Moeljopawiro (2002) dalam Aisyah (2003), bioetika adalah etika yang terkait dengan kehidupan yang pertanggungjawabannya dua arah yaitu vertikal dan horizontal, kepada Yang Maha Pencipta dan kepada sesama manusia. Sukara (2002) menambahkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat seakan-akan berlangsung secara otomatis dan tidak tergantung kepada kemauan manusia, sehingga seolah-olah kemajuan ilmu pengetahuan tadi tidak memperhatikan aspek etika. Akibatnya pada saat teknologi akan diterapkan sering mendapatkan reaksi negatif dari kalangan masyarakat. Perkembangan revolusi genetika yang begitu pesat memberi peluang sangat besar terjadinya perubahan-perubahan di masa mendatang yang akan berpengaruh besar terhadap peradaban manusia. Ilmu berfungsi sebagai pengetahuan yang membantu manusia untuk mencapai tujuan hidup yang berhubungan dengan hakekat kemanusiaan itu sendiri (Nasoetion 1999) dalam Aisyah (2003). Posisi pakar ilmu menurut Sukara (2002) sangat penting karena hanya mereka yang mampu menganalisis potensi risiko dan keuntungan serta memiliki kewajiban etis untuk menganalisis secara fair, terbuka dan tidak berat sebelah. Keputusan akhir tidak boleh diserahkan sepenuhnya kepada ilmuwan karena monopoli ilmu tidak berarti memonopoli etika dan kearifan. Dari standar etika dan kaidah berperilaku yang diberlakukan kelompok keilmuwan lain terutama dari etika kelompok ilmuwan biologi (Rifai 2002), dapat diperkirakan etika dan kaidah perilaku ilmuwan bioteknologi adalah pertama ilmuwan bioteknologi harus menghormati standar etika tertinggi, mengemban kewajiban moral dan tanggung jawab profesional terhadap masyarakat umum artinya secara aktif dan proaktif melayani dan memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Pernyataan ilmiah untuk umum harus dijaga ketepatannya jauh dari sensasi tanpa membesar-besarkan kelebihannya ataupun menutupi kekurangannya. Kedua, pakar bioteknologi berkewajiban memajukan, memanfaatkan, mengembangkan dan menguasainya bidangnya untuk didarmabaktikan bagi kepentingan umum dan kesejahteraan umat manusia serta dapat memahami keterbatasan pengetahuan dan ilmunya serta menghormati makna kebenaran ilmiah. Ketiga, pakar bioteknologi senantiasa berusaha memajukan profesinya dengan meningkatkan kemampuan dan kompetensinya sehingga selalu dapat mengikuti perkembangan mutakhir bidangnya, mendukung perhimpunan ilmiahnya, menelorkan berbagai gagasan dan informasi guna menyuburkan kemitraan dalam bersinergi sesamanya. Keempat, pakar bioteknologi dituntut untuk memahami dan mengantisipasi dampak kegiatannya pada lingkungan, disamping berperikemanusiaan mereka perlu pula berperikehewanan dan berperiketumbuhan. Nasoetion (1999) dalam Aisyah (2003) menambahkan bahwa kewajiban seorang ilmuwan secara batiniah adalah memberikan sumbangan pengetahuan baru yang benar kepada kumpulan pengetahuan yang benar yang sudah ada, walaupun ada tekanan ekonomi, atau sosial yang memintanya untuk tidak melakukan hal itu, karena tanggung jawab para ilmuwan adalah memerangi ketidaktahuan, prasangka dan takhayul di kalangan manusia mengenai alam semesta ini. 

_Karya Graha Permana_
_Mahasiswa_

Dengan Sumber Daya Indonesia, Indonesia akan berkembang dalam Daya Saing Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN

Kelas menengah Indonesia tumbuh dari 38% dari total populasi di tahun 2003, menjadi 57% di tahun 2010, atau sekitar 100 juta orang, dengan pertambahan hingga 7 juta kelas menengah tiap tahunnya. Keunggulan sumber daya alam Indonesia terbukti dari besarnya ekspor bahan mentah (minyak bumi, gas alam, batu bara, kelapa sawit) ke China, India, Eropa, Amerika Serikat, dan mitra dagang lainnya. Bermitra usaha berarti saling memanfaatkan untuk kemaslahatan bersama. Misalnya, pemodal bersinergi dengan inovator, atau tokoh lama yang memiliki reputasi baik berkongsi dengan orang baru yang memiliki ide segar. Semua ini sah, karena para pihak dapat maju dan berkembang bersama.Bisnis menjadi tidak sehat apabila satu pihak hanya dimanfaatkan tanpa mendapatkan timbal balik yang memadai.Sebagaimana diajarkan oleh Islam untuk tidak bertindak licik dan menggunakan riba dalam berdagang.
Faktanya, hal ini lah yang dialami oleh Indonesia dalam berhubungan ekonomi dan perdagangan bersama ASEAN. Indonesia dengan segala potensi dan sumber daya yang dimilikinya, dimanfaatkan oleh negara-negara ASEAN untuk menghadapi persaingan global, sementara kita sendiri tidak mampu memanfaatkan ASEAN untuk kepentingan ekonomi nasional. Indonesia adalah negara dengan ekonomi terbesar di ASEAN dan perwakilan regional di forum G-20 negara-negara ekonomi terbesar di dunia. Indonesia ini masih dengan kekuatan seperti ini, Indonesia masih gagal berperan dalam negosiasi ekonomi di kancah ASEAN. ASEAN sangat agresif untuk membuka diri melalui berbagai perjanjian ekonomi internasional, karena mereka hendak “menjual” sumber daya dan kekuatan pasar Indonesia sebagai modal mereka bersaing dengan pelaku pasar internasional. Indonesia di sisi lain, termakan oleh argumen klasik liberalisasi ekonomi, tanpa adanya langkah konkret untuk menyiapkan industri domestik dan mengembangkan kapasitas ekonomi nasional.
Faktanya, tanpa disadari, ASEAN saat ini sudah menjadi pusat ekonomi dunia, seiiring dengan melemahnya ekonomi Eropa dan mulai melambatnya ekonomi China. Integrasi ekonomi ASEAN sudah jauh berkembang semenjak ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) ditandatangani di tahun 1992. Pada tahun 2015, Kawasan ASEAN melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan menjadi pasar terbuka yang berbasis produksi, dimana aliran barang, jasa, dan investasi akan bergerak bebas.Perlu dipahami bahwa MEA berbeda dengan perjanjian perdagangan sebelumnya yang juga kontroversial, yaitu Perjanjian Perdagangan Bebas antara ASEAN dan China (CAFTA). Dalam CAFTA, yang difokuskan adalah pengurangan hambatan tarif dan non-tarif di bidang perdagangan barang (trade in goods).
Dalam MEA, tujuan yang hendak dicapai adalah penciptaan suatu pasar tunggal, yang mencakup perdagangan barang, perdagangan jasa (trade in services) termasuk tenaga kerja, maupun investasi. Apabila dalam perdagangan barang saja Indonesia sudah sulit bersaing, apalagi dalam perdagangan jasa dimana kualitas tenaga kerja kita masih di bawah negara-negara utama ASEAN. Dalam sektor jasa andalan seperti transportasi, pariwisata, keuangan, dan telekomunikasi pun, Indonesia masih mengandalkan penyediaan basis konsumen, namun masih kalah bersaing dalam hal produksi jasanya.Singkat kata, MEA justru jauh lebih berbahaya karena lingkupnya yang sangat komprehensif.
Jumlah penduduk Indonesia terbanyak dibandingkan negara ASEAN yang lain yaitu 250 juta atu sekitar 40% dari penduduk ASEAN. Dari 100 Penduduk usia produktif  ASEAN, sekitar 38 penduduk ada di Indonesia adalah sebuah Keunggulan tersendiri dalam menghadapi daya saing masyarakat ASEAN. Modal sumber daya ini adalah pasar ekonomi terbesar. Keunggulan selanjutnya adalah adanya Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Mineral sangat melimpah. Sumber daya ini tersebar di seluruh Indonesia, dimana setiap daerah mempunyai penghasilan sumber daya yang berbeda-beda dari segi hasil pangan, maupun bahan baku industri. Sumber daya alam juga menjadikan Indonesia salah satu tujuan wisata dunia karena pemandangan alamnya yang indah. Dengan perkembangan ini, wajar apabila dikatakan bahwa tongkat kepemimpinan pasar bebas dan kapitalisme sudah beralih dari AS dan Eropa ke ASEAN. Pertanyaannya kemudian, dimanakah peran Indonesia? Dimanakah peran negara yang kabarnya kekuatan ekonomi terbesar ASEAN, dengan penduduk terbanyak, pasar terkuat, dan sumber daya alam terbesar? Padahal, produk domestik bruto Indonesia mencapai 846 Miliar USD (40.3% dari seluruh PDB di ASEAN). Jumlah penduduk sebanyak 231,3 juta jiwa (39% dari seluruh pendudukdi ASEAN). Sementara sangat sedikit pengaruh kita dalam diplomasi perdagangan ASEAN. Melalui analisis data dan statistik, para teknokrat ekonomi Indonesia berpandangan bahwa Indonesia banyak mengambil manfaat dari integrasi ekonomi ASEAN. Umumnya, mereka berpendapat perdagangan intra-ASEAN 2000-2008 tumbuh lebih kuat dari perdagangan ekstra-ASEAN sebelum tumbuh negatif 17,90% pada tahun 2009 karena krisis keuangan global.
Perdagangan Indonesia ke ASEAN+6 mencapai 66 % dari total ekspor, sehingga perdagangan Indonesia tidak begitu terpengaruh dengan krisis yang terjadi di Eropa maupun AS. Indonesia hanya dimanfaatkan oleh para makelaryang memanfaatkan Indonesia sebagai pasar belaka dan sumber bahan mentah. Faktanya, dalam menghadapi MEA 2015, belum banyak persiapan berarti dari Indonesia. Berdasarkan laporan dari Kementerian Koordinator Perekonomian, terungkap berbagai fakta.Neraca Perdagangan Indonesia terhadap Negara-negara ASEAN sejak tahun 2005 selalu mengalami defisit yang meningkat setiap tahunnya Ekspor Indonesia selama ini didominasi oleh barang-barang yang berupa bahan baku alam (raw material) seperti batubara, minyak nabati, gas, dan minyak bumi (40% dari seluruh ekspor Indonesia). Daya saing produk Indonesia secara umum relatif lebih lemah dibandingkan dengan negara-negara industri utama ASEAN seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.

Dengan kondisi seperti ini, jelas daya saing industri dan ekonomi Indonesia masih di bawah negara-negara besar ASEAN lain. “Keunggulan” semu berupa jumlah penduduk, lokasi strategis, dan sumber daya alam yang melimpah hanyalah “pemanis” untuk menjual Indonesia ke pasar dan pemodal internasional, terutama oleh negara ASEAN yang tidak memiliki  penduduk, pasar, dan sumber daya alam.

Karya : Graha Permana (Mahasiswa Universitas Diponegoro)