Kekhawatiran Dampak Organisme atau
Pangan Produk Transgenik dalam Penerapan bioteknologi seperti manipulasi gen
pada tanaman budidaya telah memberikan manfaat yang tidak terbatas. Secara
alamiah tumbuhan mengalami perubahan secara lambat sesuai dengan keberhasilan
adaptasi sebagai hasil interaksi antara tekanan lingkungan dengan variabilitas
genetika. Campur tangan manusia melalui rekayasa genetik telah mengakibatkan
“revolusi” dalam tatanan gen. Perubahan drastis ini telah menimbulkan kekhawatiran
akan munculnya dampak produk transgenik baik terhadap lingkungan, kesehatan
maupun keselamatan keanekaragaman hayati (Aisyah, 2003). Dalam banyak hal
bahaya produk transgenik yang diduga akan muncul terlalu dibesar-besarkan.
Tidak ada teknologi yang tanpa resiko, demikian pula dengan produk rekayasa
genetik. Resiko dari produk transgenik tidak akan lebih besar dari produk hasil
persilangan alamiah. Beberapa resiko pangan transgenik yang mungkin terjadi
antara lain resiko alergi, keracunan dan tahan antibiotik (Fagan, 1997) dalam
Aisyah (2003). Pangan transgenik berpotensi menimbulkan alergi pada konsumen
yang memiliki sensitivitas alergi tinggi. Keadaan itu dipengaruhi sumber gen
yang ditransformasikan. Kasus ini pernah terjadi pada kedelai transgenik dengan
kandungan methionin tinggi, sehingga produknya tidak diedarkan setelah
penelitian menunjukkan adanya unsur alergi. Kekhawatiran keracunan didasarkan
pada sifat racun dari gen Bt terhadap serangga. Kecemasan tersebut tidak
beralasan karena gen Bt hanya aktif bekerja dan bersifat racun bila bertemu
sinyal penerima dalam usus serangga yang sesuai dengan kelas virulensinya. Gen
tersebut tidak stabil dan tidak aktif lagi pada pH di bawah 5 dan suhu 65° C ,
artinya manusia tidak akan keracunan gen Bt terutama untuk bahan yang harus
dimasak terlebih dahulu. Kemungkinan lain adalah resistensi mikroorganisme
dalam tubuh menjadi lebih “kuat”.
Kejadian ini peluangnya kecil karena gen
yang ditranfer melalui rekayasa genetik akan terinkorporasi ke dalam genom
tanaman. Kekhawatiran bahaya terhadap keselamatan sumber daya hayati diduga
terjadi melalui beberapa cara seperti 1) terlepasnya organisme transgenik ke
alam bebas, dan 2) tranfer gen asing dari produk transgenik ke tanaman lain
sehingga terbentuk gulma yang dapat merusak ekosistem yang ada sehingga
mengancam keberadaan sumber daya hayati. Perubahan tatanan gen dapat
mengakibatkan perubahan perimbangan ekosistem hayati dengan perubahan yang
tidak dapat diramalkan (Hartiko, 1995) dalam Aisyah (2003). Prinsip dasar
biologi molekuler menunjukkan 2 sumber utama resiko yang mungkin timbul.
Pertama, perubahan fungsi gen melalui proses rekayasa genetik. Penyisipan gen
berlangsung secara acak sehingga sulit untuk dikontrol dan diprediksikan apakah
gen tersebut akan rusak atau berubah fungsi. Kedua transgen dapat berinteraksi
dengan komponen seluler. Kompleksitas kehidupan organisme mengakibatkan kisaran
interaksi tersebut tidak dapat di ramalkan atau dikontrol (Fagan, 1997) dalam
Aisyah (2003).
Secara teoritis tanaman transgenik
merupakan bagian dari masa depan karena sampai saat ini bukti-bukti ilmiah
menunjukkan tidak ada alasan “kuat” untuk mempercayai adanya resiko “unik“ yang
berkaitan dengan produk transgenik. Produk bioteknologi modern sama aman atau
berbahayanya dengan makanan yang dihasilkan melalui teknik-teknik tradisional.
Bagaimanapun di masa yang akan datang, bioteknologi modern berpotensi sebagai
alat untuk menjawab tantangan dan membuka kesempatan dalam mengembangkan bidang
pertanian terutama untuk memperoleh bahan makanan yang lebih banyak dengan
kualitas yang lebih baik. Sikap terhadap Produk Transgenik Pentingnya
pengetahuan tentang ilmu rekayasa genetika. Pemberi informasi yang tidak
dibekali dasar pengetahuan tentang rekayasa genetika biasanya cenderung menelan
mentah-mentah ulasan pers asing sehingga objektifitas permasalahan dan
validitas data sulit diperoleh. Sebagai contoh adalah penolakan negara barat
terhadap padi transgenik yang menghasilkan provitamin A. Penolakan ini terjadi
karena mereka bisa memperoleh vitamin A dari sumber lain. Bagi negara-negara
berkembang yang rawan pangan bahan pangan yang kaya vitamin A sangat dibutuhkan.
Oleh sebab itu penting untuk memahami terlebih dahulu latar belakang penolakan
produk transgenik di suatu negara (Suwanto 2000) dalam Aisyah (2003).
Preferensi pribadi lebih baik tidak
ditanggapi secara umum. Diperlukan informasi yang seimbang dan kebijakan yang
hati-hati dari pemerintah dan pihak terkait yang dapat dijadikan acuan bagi
orang awan untuk menentukan sikap dalam mengambil keputusan terhadap produk
transgenik. Penilaian terhadap tanaman transgenik dapat mengandung persaingan
bisnis yang terselubung (Suwanto 2000a) dalam Aisyah (2003). Pestisida kimiawi
tidak terlalu diperlukan lagi dalam budidaya tanaman transgenik yang tahan
serangan hama dan penyakit, sehingga pihak-pihak berkepentingan akan berusaha
menuntun masyarakat dalam menentukan sikap sesuai tujuan mereka
masing-masing. Bukti ilmiah diperlukan untuk menghilangkan keraguan. Salah
satu kekhawatiran yang paling menonjol adalah terjadinya transfer gen dari
organisme transgenik ke mikroorganisme. Secara alamiah transfer gen sangat
jarang terjadi. Frekuensi pengambilan DNA linier oleh permukaan sel 10-5 atau
lebih kecil, untuk terintegrasi ke dalam genom resipien memerlukan illegitimate
recombination dengan frekuensi 10-8 atau lebih kecil dan kemudian untuk
ekspresinya dibutuhkan aktivasi oleh elemen loncat dengan frekuensi 10-5 atau
lebih kecil sehingga total frekuensi suatu gen ditransformasikn di alam adalah
10-18. Bakteri dalam usus besar manusia tidak lebih dari 1015 dan dalam satu
gram tanah hanya sekitar 1010, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kejadian
transformasi gen di alam tadi probabilitasnya mendekati nol. Dalam kondisi
tanpa tekanan seleksi, frekuensi gen sebesar 10-6 sulit terjadi karena jumlah
bakteri yang mendapat transfer gen tidak sebanding dengan bakteri yang tidak mendapatkannya
(Suwanto 2000b) dalam Aisyah (2003).
Tekanan seleksi yang menguntungkan
bakteri penerima gen, maka transfer gen tersebut akan memberikan akibat yang
nyata. Dalam melakukan penilaian terhadap produk transgenik pertimbangan ada
tidaknya tekanan seleksi pada suatu kejadian yang jarang terjadi perlu mendapat
perhatian serius. Perkembangan pengetahuan saat ini belum memungkinkan untuk
menghitung semua probabilitas kejadian transfer gen secara tepat. Pada dasarnya
belum tersedia informasi untuk membuat perhitungan kemungkinan suatu tahapan
transfer gen. Data seperti itu diperkirakan belum dapat tersedia dalam waktu
dekat karena variasi prokariota yang luar biasa atau mungkin terdapat mekanisme
tranfer gen yang baru. Analisis resiko yang fair dapat dilakukan dengan
membandingkan produk yang akan dianalisis dengan aplikasi yang secara umum
telah dierima. Misalnya bila pemberian antibiotik untuk hewan dalam waktu yang
lama dan terus menerus dianggap aman maka pemberian produk transgenik sebagai
pakan dianggap lebih aman. Kedua kejadian itu mengambil resiko teoritis yang
sama yaitu pengambilan DNA oleh bakteri usus melalui transformasi alamiah dan
integrasi DNA ke dalam genom resipien. Pendekatan evaluasi seperti ini tidak
diskrimanatif dalam menilai produk yang berbeda (Suwanto 2000b) dalam Aisyah
(2003). Penggunaan bioteknologi telah diakui sebagai teknologi yang
memberi manfaat terutama dalam aktivitas pertanian. Meskipun demikian aplikasi
tersebut harus tetap diiringi dengan langkah-langkah yang perlu diambil untuk
memastikan produk tersebut tidak membahayakan kehidupan manusia. Protokol
keamanan hayati Cartagena adalah salah satu upaya global yang dapat dipakai
masyarakat dunia untuk mematuhi peraturan yang berkaitan dengan produk
transgenik. Keberadaan peraturan-peraturan ini diharapkan tidak menghalangi
pertumbuhan dan perkembangan bioteknologi (Zohrah 2001). Setahun terakhir ini
issue bioteroris menjadi fenomena baru yang muncul akibat banyaknya aksi teror
yang terjadi pada saat teknik rekayasa genetika berkembang sangat pesat.
Prestasi gemilang rekayasa genetika yang telah dicapai dibayangi penyalahgunaan
oleh teroris. Kebebasan mengakses data genetika pada gen bank dikhawatirkan
akan dimanfaatkan para teroris sebagai sarana menciptakan senjata yang berbahaya
bagi keselamatan manusia. Presiden Amerika pada pertengahan tahun lalu telah
menandatangani UU bioterorisme yang mencakup kesanggupan Amerika terhadap
kontrol zat biologi berbahaya dan racun, keselamatan dan keamanan pasokan
makanan, obat-obatan dan air minum. Kekhawatiran penyalahgunaan data genetika
ini diragukan karena tidak ada pakar yang mumpuni untuk mengubah informasi
tersebut menjadi senjata berbahaya. Database yang ada tidak dapat digunakan
sebagai sarana untuk menciptakan bakteri atau virus pembunuh. Upaya
menyembunyikan data genetika justru akan mendorong kepada sains yang
membahayakan. Sebagai tindakan kewaspadaan, data akan diklasifikasikan
khususnya data dari sejumlah organisme yang dikenal berbahaya. Membuka akses
publik terhadap data tersebut dianggap lebih banyak manfaat karena akan
merangsang berbagai penelitian untuk mencapai kemajuan dari pada kerugiannya,
seperti yang dikemukakan oleh Baber dalam Suriasoemantri (1988) bahwa seorang
ilmuwan tidak boleh menyembunyikan hasil penemuan apapun bentuknya dari
masyarakat luas dan apapun yang menjadi konsekuensinya (Aisyah, 2003). Dalam
upaya memberikan informasi yang transparan tentang tanaman transgenik kepada
masyarakat, perlu adanya kerja sama yang erat diantara semua pihak yang terlibat
(stakeholders).
Berikut adalah beberapa hal yang perlu
dilakukan oleh stakeholder untuk mengkaji lebih jauh tentang pengembangan
tanaman transgenik :
1.
Pemerintah
Sebagai
pihak yang dapat menentukan kebijakan, pemerintah harus membuat
peraturan-peraturan yang tegas tentang keberadaan tanaman transgenik, baik yang
mengenai pemanfatannya maupun bagi dampak yang ditimbulkannya. Disamping itu,
pemerinyah dapat menunjuk lembaga-lembaga independen yang bertugas mengawasi
pengembangan tanaman transgenik. Pemerintah juga harus menghindari vested
interest atau kepentingan tertentu pada tanaman transgenik karena dianggap
dapat mendukung kebijakan penyediaan pangan. Independensi komisi keamanan
hayati dan tanaman pangan sangat diperlukan.
2.
Peneliti
Lembaga penelitian harus melakukan tahapan kegiatan sesuai dengan standard operating procedures (sop). Disamping itu, peneliti juga harus melakukan pengawasan ketat sesuai dengan integritas ilmiah. Disisni perlu adanya suatu komisi etika yang mendampingi dan mengawasi proyek penelitian dari sudut pandang etika. Selain itu, penelitian yang dilakukan harus melibatkan semua pihak termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi lainnya.
Lembaga penelitian harus melakukan tahapan kegiatan sesuai dengan standard operating procedures (sop). Disamping itu, peneliti juga harus melakukan pengawasan ketat sesuai dengan integritas ilmiah. Disisni perlu adanya suatu komisi etika yang mendampingi dan mengawasi proyek penelitian dari sudut pandang etika. Selain itu, penelitian yang dilakukan harus melibatkan semua pihak termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi lainnya.
3.
Produsen
Transparansi produk transgenik harus diutamakan, caranya antara lain dapat dilakukan melalui labelling sehingga produk tersebut dapat diketahui dengan jelas oleh masyarakat. Produsen jangan hanya berorientasi komersial pada keuntungan semata tetapi juga harus mempertimbangkan dampaknya bagi kesehatan dan lingkungan sekitarnya.
Transparansi produk transgenik harus diutamakan, caranya antara lain dapat dilakukan melalui labelling sehingga produk tersebut dapat diketahui dengan jelas oleh masyarakat. Produsen jangan hanya berorientasi komersial pada keuntungan semata tetapi juga harus mempertimbangkan dampaknya bagi kesehatan dan lingkungan sekitarnya.
4.
Petani
Petani harus mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang tanaman transgenik tersebut. Disamping itu, petani disarankan tidak berorientasi pada keuntungan sesaat atau jangka pendek, tetapi harus memperhatikan kontinuitas produksi dan pendapatannya.
Petani harus mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang tanaman transgenik tersebut. Disamping itu, petani disarankan tidak berorientasi pada keuntungan sesaat atau jangka pendek, tetapi harus memperhatikan kontinuitas produksi dan pendapatannya.
5.
Masyarakat
Sebagai pihak yang akan menggunakan produk transgenik, masyarakatharus bersikap hati-hati dan kritis. Informasi yang jelas dan rinci tentang apa dan bagaimana tanaman transgenik harus diketahui dengan pasti. Setidak-tidaknya sikap atau keputusan yang diambil telah didasarkan atas data dan fakta yang tidak keliru atau menyesatkan.
Sebagai pihak yang akan menggunakan produk transgenik, masyarakatharus bersikap hati-hati dan kritis. Informasi yang jelas dan rinci tentang apa dan bagaimana tanaman transgenik harus diketahui dengan pasti. Setidak-tidaknya sikap atau keputusan yang diambil telah didasarkan atas data dan fakta yang tidak keliru atau menyesatkan.
Bioetika dalam Penelitian Bioteknologi Menurut
Moeljopawiro (2002) dalam Aisyah (2003), bioetika adalah etika yang terkait
dengan kehidupan yang pertanggungjawabannya dua arah yaitu vertikal dan
horizontal, kepada Yang Maha Pencipta dan kepada sesama manusia. Sukara (2002)
menambahkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat
seakan-akan berlangsung secara otomatis dan tidak tergantung kepada kemauan
manusia, sehingga seolah-olah kemajuan ilmu pengetahuan tadi tidak
memperhatikan aspek etika. Akibatnya pada saat teknologi akan diterapkan sering
mendapatkan reaksi negatif dari kalangan masyarakat. Perkembangan revolusi
genetika yang begitu pesat memberi peluang sangat besar terjadinya
perubahan-perubahan di masa mendatang yang akan berpengaruh besar terhadap
peradaban manusia. Ilmu berfungsi sebagai pengetahuan yang membantu manusia
untuk mencapai tujuan hidup yang berhubungan dengan hakekat kemanusiaan itu
sendiri (Nasoetion 1999) dalam Aisyah (2003). Posisi pakar ilmu menurut Sukara
(2002) sangat penting karena hanya mereka yang mampu menganalisis potensi
risiko dan keuntungan serta memiliki kewajiban etis untuk menganalisis secara
fair, terbuka dan tidak berat sebelah. Keputusan akhir tidak boleh diserahkan
sepenuhnya kepada ilmuwan karena monopoli ilmu tidak berarti memonopoli etika
dan kearifan. Dari standar etika dan kaidah berperilaku yang diberlakukan
kelompok keilmuwan lain terutama dari etika kelompok ilmuwan biologi (Rifai
2002), dapat diperkirakan etika dan kaidah perilaku ilmuwan bioteknologi adalah
pertama ilmuwan bioteknologi harus menghormati standar etika tertinggi,
mengemban kewajiban moral dan tanggung jawab profesional terhadap masyarakat
umum artinya secara aktif dan proaktif melayani dan memperjuangkan kepentingan
dan kesejahteraan masyarakat. Pernyataan ilmiah untuk umum harus dijaga
ketepatannya jauh dari sensasi tanpa membesar-besarkan kelebihannya ataupun
menutupi kekurangannya. Kedua, pakar bioteknologi berkewajiban memajukan,
memanfaatkan, mengembangkan dan menguasainya bidangnya untuk didarmabaktikan
bagi kepentingan umum dan kesejahteraan umat manusia serta dapat memahami
keterbatasan pengetahuan dan ilmunya serta menghormati makna kebenaran ilmiah.
Ketiga, pakar bioteknologi senantiasa berusaha memajukan profesinya dengan
meningkatkan kemampuan dan kompetensinya sehingga selalu dapat mengikuti
perkembangan mutakhir bidangnya, mendukung perhimpunan ilmiahnya, menelorkan berbagai
gagasan dan informasi guna menyuburkan kemitraan dalam bersinergi sesamanya.
Keempat, pakar bioteknologi dituntut untuk memahami dan mengantisipasi dampak
kegiatannya pada lingkungan, disamping berperikemanusiaan mereka perlu pula
berperikehewanan dan berperiketumbuhan. Nasoetion (1999) dalam Aisyah (2003)
menambahkan bahwa kewajiban seorang ilmuwan secara batiniah adalah memberikan
sumbangan pengetahuan baru yang benar kepada kumpulan pengetahuan yang benar
yang sudah ada, walaupun ada tekanan ekonomi, atau sosial yang memintanya untuk
tidak melakukan hal itu, karena tanggung jawab para ilmuwan adalah memerangi
ketidaktahuan, prasangka dan takhayul di kalangan manusia mengenai alam semesta
ini.
_Karya Graha Permana_
_Mahasiswa_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar